Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang terakumulasi di dalam calculus (karang gigi) yang biasanya terdapat pada leher gigi. Penyakit periodontal ini dapat ringan seperti gingivitis (peradangan hanya pada gusi), biasanya gigi bewarna merah dan mudah berdarah. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi kerusakan tulang pendukung gigi dan juga abses periodontal.
Merokok serta penyakit sistemik seperti diabetes meningkatakan keparahan penyakit periodontal. Menyikat gigi saja seringkali tidak cukup untuk membersihkan kumpulan plaque yang terakumulasi di leher gigi dan dibawah gusi yg melekat pada leher gigi.
Gejala penyakit ini biasanya tidak dirasakan sampai penyakit sudah lanjut, gejala tersebut berupa :
1. Bau mulut yang tidak hilang
2. Gusi merah dan membengkak
3. Gusi yang sakit dan berdarah
4. Rasa sakit pada saat mengunyah
5. Gigi goyang dan gigi sensitive
Pencegahan penyakit periodontal antara lain dengan cara :
1. Menyikat gigi setiap habis makan dengna pasta gigi yang mengandung fluoride
2. Membersihkan sela2 antara gigi dengan dental floss, dental floss ini gunanya
untuk mengangkat sisa makanan yang terdapat di leher gigi dan di bawah gusi
3. Saat ini sudah banyak di produksi "dental water jet" yang terbukti lebih efektif
menghilangkan perdarahan gusi di bandingkan dental floss.
4. Makanan bergizi yang seimbang
5. Mengunjungi dokter gigi secara teratur untuk di lakukan cleaning dan pemeriksaan rutin.
Tuesday, September 26, 2006
[+/-] |
|
Sunday, September 24, 2006
[+/-] |
|
ATRISI GIGI PADA MANULA
Gigi merupakan jaringan yang paling keras pada tubuh manusia, namun jaringan ini dapat rusak karena proses keausan, pada Manula proses keausan gigi ini disebabkan oleh proses fisiologis karena pengunyahan dan didukung oleh kebiasaan buruk lainnya seperti mengunyah sirih, kontak prematur dan makanan yang bersifat abrasif.
Oleh Gelbier dan Copley (1977) serta Cawson(1978), atrisi gigi didefinisikan sebagai keausan permukaan oklusal gigi secara bertahap yang berhubungan dengan gerakan-gerakan pengunyahan.
Secara umum atrisi gigi adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyatakan hilangnya suatu substansi gigi secara bertahap pada permukaan oklusal dan proksimal gigi karena proses mekanis yang terjadi secara fisiologis akibat pengunyahan. Atrisi gigi ini dapat terjadi pada insisal, oklusal dan proksimal dari gigi.
Keausan gigi menimbulkan masalah bagi pasien, karena pasien merasa linu pada gigi-gigi tanpa mengetahui penyebabnya. Keadaan ini bisa di atasi dengan pembuatan mahkota atau penambalan, tergantung sejauh mana tingkat keausan tersebut
Saturday, September 09, 2006
[+/-] |
Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi |
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN DARI GIGI GELIGI
1. Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi dan prenatal dan posnatal yang kurang baik dapat meyebabkan kelainan pada struktur anatomis gigi.
Keadaan ini sangat merugikan baik dari segi estetik maupun kesehatan. Fungsi gigi geligi sebagai alat pencernaan dapat terganggu sehingga dapat menggangu intake makanan dan kesehatan secara umum.
Selain itu kelainan pertumbuhan dan perkembangan secara umum seperti pada ‘down syndrome’, kelainan ginjal, hipoparatiroidisme dan sebagainya juga dapat diikuti dengan kelainan pada gigi, sehingga hal ini semakin menjadi berat dan membutuhkan perhatian khusus.
Mengingat pentingnya peranan gigi geligi sebagai salah satu alat pencernaan maka pada makalah ini akan dibahas mengenai pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi, serta kelainan-kelainan yang sering terjadi pada proses pertumbuhan dan perkembangannya.
2. Odontogenesis
Odontogenesis adalah proses terbentuknya jaringan gigi. Proses ini tidak terjadi pada waktu yang bersamaan untuk semua gigi.
Gigi dibentuk dari lapisan ektoderm, yaitu dari jaringan ektomesenkim. Ektomesenkim ini dibentuk dari ‘neural crest cells. Sel ini terdapat pada sepanjang sisi lateral dari neural plate.
Perkembangan gigi dimulai dengan pembentukan ‘primary dental lamina’, yang menebal dan meluas sepanjang daerah yang akan menjadi tepi oklusal dari mandibula dan maksila dimana gigi akan erupsi. Dental lamina ini tumbuh dari permukaan ke mesenchyme di bawahnya. Bersamaan dengan perkembangan dari primary dental lamina , pada 10 tempat di dalam mandibular arch and pada 10 tempat di dalam maxillary arch, beberapa sel dari dental lamina memperbanyak diri pada laju yang lebih cepat daripada yang berada di sekitar sel, dan 10 tonjolan kecil dari sel-sel epithel terbentuk pada dental lamina dalam tiap rahang.
Secara singkat pertumbuhan dan perkembangan dari gigi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Proses odontogenesis
A.Tahapan Dental lamina – invaginasi dari oral epithelium ke dalam jaringan pengubung di bawahnya (mesenchyme).
B.Tahapan enamel organ awal – pembentukan tunas dari epithelium dari dental lamina.
C.Tahapan kuman gigi – enamel organ, dental papilia, dental sac
D.Inisiasi dari pembentukan dentin dan enamel di dalam gigi.
E.Tahapan enamel organ & bantalan akar yang direduksi.
F.Tahapan erupsi aktif – pemecahan dari bantalan akar (root sheath) dan mulai pembentukan cementum.
G. Tahapan epithelium darurat dan gabungan - enamel epithelium yang direduksi menjadi epithelium gabungan dan gigi masuk rongga mulut.
H. Tahapan bidang occlusal – gigi dalam posisis fungsional.
3. Pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung dan gigi tetap
Pertumbuhan dan perkembangan dari gigi geligi seperti halnya organ lainnya telah dimulai sejak 4 – 5 bulan dalam kandungan. Pada waktu lahir, maksila dan mandibwula merupakan tulang yang telah dipenuhi oleh benih-benih gigi dalam berbagai tingkat perkembangan. Tulang alveolar hanya dilapisi oleh mucoperiosteum yang merupakan bantalan dari gusi.
Pada saat lahir, tulang maksila dan mandibula terlihat mahkota gigi-gigi sulung telah terbentuk dan mengalami kalsifikasi, sedangkan benih gigi-gigi tetap masih berupa tonjolan epitel.
Pada umur 6 – 7 bulan telah terjadi erupsi dari gigi sulung dan pada umur 12 bulan gigi insisif pada maksila dan mandibula telah erupsi. Pada umur 2 ½ - 3 tahun semua gigi sulung telah erupsi dan email gigi-gigi sulung telah terbentuk sempuna.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi ini terlihat pada tabel berikut ini :
GIGI SULUNG
Rahang Gigi Pembentukan Erupsi Akar lengkap
Atas Insisif pertama 4 bl inutero 7 ½ bl 1 ½ th
Insisif kedua 4 ½ bl inutero 9 bl 2 th
Caninus 5 bl inutero 18 bl 3 ½ th
Molar pertama 5 bl inutero 14 bl 2 ½ th
Molar kedua 6 bl inutero 24 bl 3 th
Bawah Insisif pertama 4 ½ bl inutero 7 bl 1 ½ th
Insisif kedua 4 ½ bl inutero 7 bl 1 ½ th
Caninus 5 bl inutero 16 bl 3 ½ th
Molar pertama 3 bl inutero 12 bl 2 ½ th
Molar kedua 6 bl inutero 20 bl 3 th
GIGI TETAP
Rahang Gigi Mulai terbentuk Erupsi Akar lengkap
Atas Insisif pertama 3 - 4 bl 7 – 8 th 10 tahun
Insisif kedua 10 - 12 bl 8 – 9 th 11 tahun
Caninus 4 – 5 bl 11 – 12 th 13 – 15 th
Premolar pertama 18-21 bl 10 – 12 th 12 – 14 th
Premolar kedua 30–33 bl 10 – 12 th 12 –14 th
Molar pertama 0 – 3 bl 6 – 7 th 9 – 10 th
Molar kedua 27 – 36 bl 12 – 13 th 14 – 16 th
Molar ketiga 7 – 9 th 17 – 21 th 18 – 25 th
Bawah Insisif pertama 3 – 4 bl 6 – 7 th 9 th
Insisif kedua 3 – 4 bl 7 – 8 th 10 th
Caninus 4 – 6 bl 9 – 10 th 12 – 14 th
Premolar pertama 18 – 24 bl 10 – 12 th 12 –13 th
Premolar kedua 24 – 30 bl 11 – 12 th 13 – 14 th
Molar pertama 0 – 3 bl 6 – 7 th 9 – 10 th
Molar kedua 2 – 3 th 11 – 13 th 14 – 15 th
Molar ketiga 8 – 10 th 17 – 21 th 18 – 25 th
3. Kelainan-kelainan Erupsi Gigi
3.1 Neonatal teeth
Kadang-kadang satu atau lebih gigi-gigi telah erupsi pada waktu kelahiran dikenal sebagai ‘neonatal teeth’. Keadaan ini biasanya merupakan rangkaian yang normal bukan merupakan gigi supernumerari, emailnya biasanya hipoplastik dan karena tidak terdapatnya pembentukan akar maka gigi tersebut biasanya hanya melekat saja dan tidak kencang.
Keadaan ini juga dapat terjadi pada beberapa kelainan sistemik dan sindrome berikut ini (Poole, Redford-Badwal, 1991) :
1.Ellis-van Creveld syndrome
2.Hallermann-Streiff syndrome
3.Pachyonychia congenita syndrome
3.2 “TEETHING” (pertumbuhan gigi)
Erupsi gigi geligi biasanya dimulai pada usia 5 atau 6 bulan. Tumbuhnya gigi pertama kali ditunggu dengan antusias oleh orang tua, karena hal ini merupakan awal dari perkembangan yang panjang. Pada kebanyakan kasus, erupsi gigi tidak menyebabkan anak maupun orang tua panik, tetapi kadang-kadang proses tersebut menyebabkan adanya iritasi lokal, yang biasanya ringan tetapi dapat cukup parah untuk mengganggu tidur anak. Insisivus susu yang kecil biasanya dapat erupsi tanpa kesulitan ; masalah “teething” biasanya muncul dengan erupsi gigi-gigi molar yang relatif lebih besar.
Gejala-gejala “teething” dapat terlihat baik secara lokal (Seward, 1971) dan secara sistemik (Seward, 1972a).
Lokal : Kemerahan atau pembengkakan gingiva pada regio yang akan erupsi.
Bercak eritema pada pipi.
Sistemik : gelisah dan menangis
Kehilangan nafsu makan
Tidak dapat tidur
Meningkatnya saliva dan saliva tersebut terus menetes
Nafsu makan berkurang
Rasa haus meningkat
Kemerahan pada tepi mulut
(Circum oral rash).
3.3 KISTA ERUPSI
Kista erupsi dapat berkembang dalam hubungan dengan gigi susu yang sedang erupsi. Rongga folikular yang normal di sekitar mahkota mengembang karena pengumpulan cairan jaringan atau darah, membentuk sejenis kista dentigerous (Shafer, Hine dan Levy, 1974 ; Shear, 1983). Kista erupsi terjadi paling sering pada permukaan oklusal yang lebar di gigi-gigi molar susu. Mula-mula terdapat daerah kebiru-biruan pada gigi yang sedang erupsi, dan kemudian terjadi kemerahan dan pembengkakan mukosa. Pembesaran kista menyebabkan tergigit oleh gigi-gigi lawannya, dan hal ini menambah rasa tidak enak pada anak.
3.4 ERUPSI TERTUNDA DARI GIGI-GIGI TETAP
Data perkembangan gigi yang diberikan pada tabel 11.2 tidak memperlihatkan bahwa terdapat variasi normal yang nyata diantara setiap anak. Walaupun keterlambatan erupsi gigi dapat dihubungkan dengan keadaan tertentu (misal sindroma down), kebanyakan kasus keterlambatan yang terlihat berada dalam batas-batas normal. Para orang tua harus diberi keyakinan, dan perkembangan oklusi harus diperiksa ulang. Bagaimanapun juga, karena gigi-gigi kontra lateralnya biasanya erupsi bersamaan, penundaan erupsi gigi lebih dari satu atau dua bulan memerlukan perhatian.
Keterlambatan erupsi yang terlokalisir lebih sering pada gigi geligi tetap dibandingkan pada gigi geligi susu; beberapa penyebabnya diberikan di bawah ini.
Insisivus: Resorpsi yang terlambat pada insisivus susu setelah trauma dan kematian pulpa.
Dilaserasi
Gigi-gigi kelebihan (supernumerary teeth)
Kehilangan gigi susu yang sangat dini, diikuti oleh perkembangan tulang dalam soket gigi
Kaninus : jalur erupsi kaninus rahang atas tidak sebagaimana mestinya
Premolar : Impaksi ke arah gigi-gigi lain disebabkan karena angulasi abnormal atau berjejal-jejal.
Resorpsi terhambat pada molar susu.
Molar susu terpendam
Molar : Impaksi ke arah gigi-gigi lain ; khususnya mengenai molar ketiga.
Keadaan-keadaan lain seperti kista dentigerous, dapat mengenai setiap gigi.
4. KELAINAN-KELAINAN PADA STRUKTUR GIGI
Jaringan-jaringan gigi dibentuk dalam dua tahap, mula-mula diendapkan matriks organik dan kemudian mineralisasi terjadi. Gangguan pada salah satu dari tahap-tahap ini dapat menyebabkan kelainan-kelainan pada struktur gigi yang penting, khususnya email.
Gangguan pengendapan matriks menyebabkan hipoplasia, ditandai oleh adanya email yang tidak teratur ketebalannya atau strukturnya tidak sempurna.
Gangguan pada tahap kedua perkembangan menyebabkan hipomineralisasi, walaupun email mempunyai ketebalan normal, setidak-tidaknya sebagian dari padanya mempunyai mineralisasi yang buruk.
4.1 Hipoplasia dan Hipomineralisasi yang disebabkan faktor Lokal
Perkembangan gigi-gigi tetap dapat rusak oleh karena trauma atau infeksi yang berhubungan dengan gigi susu.
Intrusi atau pergeseran insisivus susu yang parah akibat trauma dapat mempengaruhi insisivus tetap yang sedang berkembang. Makin besar trauma yang mengenai muka anak pada waktu terkena kecelakaan, makin besar kemungkinan email gigi tetap akan menjadi hipoplastik. Jika kecelakaan terjadi setelah usia 4 tahun, hipomineralisasi lebih sering terjadi dari pada hipoplasia, yang tampak sebagai bercak-bercak putih atau kecoklatan pada permukaan labial.
Trauma karena pencabutan gigi molar susu dapat merusakkan premolar yang sedang berkembang, khususnya sewaktu anak berusia dibawah 4 – 5 tahun, pada saat perkembangan premolar pada tahap awal.
Hal yang sama macam kerusakan yang dapat disebabkan oleh infeksi gigi sulung tergantung pada tahap perkembangan gigi tetap penggantinya.
4.2 Hipoplasia dan hipomineralisasi yang disebabkan faktor sistemik
Sampai saat kelahiran semua gigi sulung terlindung dari semua gangguan sistemik yang paling parah, oleh karena itu email prenatal biasanya mempunyai struktur yang homogen. Kelainan pada email postnatal biasanya dihubungkan dengan kelainan sistemik pada waktu kelahiran atau selama perkembangan postnatal. Faktor-faktor tersebut antara lain adala amelogenesis imperfekta (genetis), kelainan metabolisme, seperti fenil ketonurea, hipokalsemia, anemia hemolitik, endokrinopati seperti hipoparatiroidisme, nefropati, penyakit hepar, penyakit gastro intestinal yang menyebabkan gangguan penyerapan fluor.
Friday, September 08, 2006
[+/-] |
MENGENAL TANDA-TANDA SEPSIS AKIBAT INFEKSI ODONTOGENIK |
Sepsis is roughly equivalent to what is known in the world at a large as “blood poisoning”. Sepsis has resulted from infection with fungi (especially candida), parasites, viruses and bacteria. The mouth is one area where these microflora potential for phatogenicity and the infection of the oral microflora can make a septic proceses. The sepsis syndrome as a severe systemic illness marked by characteristic hemodynamic derangements and organ malfunction, brought about by the interaction of certain microbial product with host reticuloendothelial cells. At this moment sepsis is the most severe reasons mortality and morbidity at children and adults.
1. Pendahuluan
Sepsis, sindroma sepsis maupun syok septik merupakan salah satu penyebab kematian yang mencolok di rumah-rumah sakit. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan cara pengobatan yang adekuat, atau ketidakjelasan dasar pengelolaan maupun terapi yang diberikan.
Infeksi pada rongga mulut seperti abses atau selulitis bila tidak ditangani secara adekuat dapat menjadi suatu induksi untuk terjadinya sepsis, dan bahkan terkadang pasien datang sudah dalam keadaan sepsis.
Mengingat keadaan sepsis ini akan dengan cepat berubah menjadi keadaan yang lebih berbahaya, maka pengenalan sepsis dini sangat diperlukan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai tanda-tanda sepsis, syok septik, mekanisme serta penangannya.
2. Definisi
Bakteremi : adanya bakteri dalam peredaran darah
Sepsis : keadaan klinis yang disebabkan oleh infeksi dengan tanda-tanda respon sistemik, dengan gejala : takhipne (respirasi > 20 X/menit), takhikardi (denyut nadi > 90 X/menit), hipertermi atau hipotermi (suhu badan rektal > 38,3 atau 35,6 C.
Sindroma sepsis : Yaitu suatu keadaan sepsis yang disertai dengan tanda-tanda gangguan perfusi organ. Gangguan ini berupa : perubahan status mental akut, hipoksia pada penderita tanpa kelainan paru atau kardiovaskuler, peningkatan asam laktat dan oligouri (jumlah diuresis > 0,5 ml/kg BB)
Syok septik dini : keadaan sindroma sepsis ditambah dengan adanya penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistoliknya lebih dari 40mmHg dari tekanan darah sebelumnya
Syok sepsis refrakter : yaitu diagnosis klinik seperti diatas setelah diberikan cairan adekuat setelah 1 jam ditambah vasopresor belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Dengan demikian syok septik adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh tidak cukupnya perfusi jaringan dan adanya hipoksia jaringan yang disebabkan oleh sepsis.
1. Temperatur > 38 C atau < 36 C
2. Denyut jantung > 90/menit
3. Respirasi > 20 permenit
4. Jumlah leukosit > 12.000/mm3 atau < 4000/mm3
3. Etiologi
Sepsis sampai syok septik secara umum telah diketahui penyebabnya adalah bakteri Gram negatif, tetapi dapat juga disebabkan oleh mikro organisma lainnya.
Gram negatif yang sering menyebabkan sepsis adalah Escherichia coli, Klebsiela pnemonia, Enterobacter, Serratia, Proteus dan Providentia. Biasanya kuman-kuman ini didapatkan dari infeksi nasokomial.
Kokus gram positif yang sering menyebabkan sepsis adalah stafilokokus, enterokokus dan streptokokus. Toxic shock syndrome yang sering menimbulkan kegawatan disebabkan oleh stafilokokus aureus. Organisme gram positif lain sebagai penyebab sepsis adalah enterokokus dan streptokokus viridans.
Bakteri anaerob yang sering menybabkan sepsis adalah bakteroides fragilis, B. bivius, Peptostreptokokus dan Bacteroides lainnya.
3. Patofisiologi
Mekanisme sepsis berkaitan dengan interaksi antara host dan agent, penyakit serta berbagai faktor pertahanan tubuh dan juga sifat toksik dan invasif bakteri.
Hal-hal yang menentukan dari pihak host adalah jenis dan derajat penyakit sebelumnya, sumber bakteremi dan umur penderita. Resiko kematian akan meningkat pada umur lebih dari 40 tahun, penderita dengan latar belakang penyakit seperti keganasan, diabetes melitus dan penderita dalam pengobatan kortikosteroid, gagal ginjal dan sirosis hati.
Sifat bakteri yang menunjang invasi ke dalam host adalah perlekatan ke permukaan mukosa, resistensi terhadap lisis, resistensi terhadap fagositosis, dihasilkannya toksin protein dan enzim.
Sepsis, sindroma sepsis maupun syok septik dapat terjadi karena nidus infeksi pada rongga mulut seperti abses, selulitis, luka pasca bedah yang terinfeksi dan fokus lainnya yang dapat menyebabkan bakteri masuk kedalam sirkulasi. Bakteri penyebab ini akan mengeluarkan toksin yang akan mempengaruhi komponen seluler tiap organ dan akhirnya menimbulkan aktivitas biologik tertentu.
4. Diagnosis Syok Sepsis
Syok merupakan diagnosa klinis, pada keadaan yang berat pasien ditemukan telah menjadi pucat, kulit dingin, tekanan darah sudah sangat turun, maka diagnosis tidak sulit ditegakkan. Tetapi pada keadaan ini pengobatan sudah menjadi sulit. Oleh karena itu untuk keberhasilan suatu pengobatan pengenalan dini terhadap syok sangat diperlukan.
Pada pemeriksaan jasmani, gejala syok yang merupakan manifestasi penurunan perfusi jaringan adalah sebagai berikut :
1. Suhu permukaan tubuh, dapat diukur dengan cara sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama.
2. Capillary refill, metoda ini merupakan indikator yang sensitif. Pada umumnya capillary refill pada daerah wajah lebih cepat dibandingkan pada daerah dada dan daerah dada lebih cepat dibandingkan tangan dan kaki. Pada keadaan normal capillary refill terjadi dalam waktu kurang dari 5 detik. Bila cappilary refill terjadi lebih dari 5 detik hal ini sudah merupakan keadaan yang abnormal.
3. Hipoperfusi organ vital dapat dinilai dari ada tidaknya oligouri dan perubahan status mental.
4. Takipneu, Hiperneu dan hiperventilasi sering ditemukan sebagai tanda awal dari syok, hal ini berkaitan dengan penurunan pH susunan syaraf pusat.
5. Takikardi yang ditemukan sebelum adanya penurunan tekanan darah.
Dengan berjalannya waktu ditemukan kontraktilitas otot jantung, penurunan volume intravaskuler dan gangguan berbagai organ, maka kulit penderita akan menjadi dingin, ditemukan penurunan tekanan nadi, penurunan tekanan darah dan hal lain yang biasanya terjadi pada syok, seperti somnolen adanya trias inflamasi, yaitu demam, takikardi dan vasodilatasi.
5. Pengelolaan Sepsis/Syok Septik
Tujuan pengelolaan adalah :
1. Menghilangkan/mereduksi kuman penyebab infeksi dengan cara pemberian antibiotik yang adekuat, diperlukan walaupun belum ada hasil mikrobiologi mengingat sepsis merupakan infeksi dengan resiko bahaya kematian bagi penderita yang cukup tinggi.
2. Melakukan drainase eksudat, eksisi jaringan nekrosis, pengeluaran benda asing dan tindakan bedah lainnya untuk menghilangkan sumber infeksi .
3. Mengembalikan perubahan hemodinamik yang terjadi dan mengembalikan agar perfusi jaringan berlangsung baik, dengan cara pemberian cairan, pemberian cairan ini berdasarkan pada perubahan fisiologis yang terjadi pada penderita dehidrasi akibat diare, yaitu : 10 – 20 ml/kg BB dalam 20 menit.
4. Mempertahankan dan memulihkan fungsi organ tubuh yang terganggu :
4.1 Memperbaiki jalan nafas : oksigenasi cukup, jalan nafas harus baik (bebas obstruksi).
4.2 Pemberian cairan yang adekuat : guna mempertahankan volume darah , hal ini diperlukan untuk mengembalikan fungsi homeostasis.
4.3 Perawatan intensif pasca bedah yang baik.
4.4 Evaluasi pasca bedah untuk mengetahui sumber infeksi lain yang tidak terdrainase sehingga memerlukan pembedahan kedua.
5. Pemberian Kortikosteroid
Pemberian Kortikosteroid masih menjadi suatu hal yang kontroversial, beberapa ahli beranggapan pemberian kortikosteroid diharapkan dapat memutuskan proses patofisiologi, yang merupakan respon tubuh terhadap infeksi sistemik. Obat ini memberikan efek antara lain : stabilisasi membran sel dan lisosom, inhibisi agregasi granulosit, inhibisi proses cascade yang terjadi, diaktifasinya sistem komplemen, pengeluaran radikal oksigen bebas dan mengurangi produksi TNF oleh makrofag.
6. Kesimpulan
Sepsis adalah suatu keadaan yang apabila tidak ditangani dengan adekuat akan menjadi keadaan kritis, yaitu syok septik dan akan mengakibatkan kematian. Pada infeksi odontogenik seperti abses dan selulitis atau luka pasca bedah yang terinfeksi, dapat terjadi keadaan ini.
Walaupun kemajuan dibidang ilmu kedokteran telah demikian pesat, kematian yang diakibatkan oleh syok septik masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh keterlambatan penanganan akibat diagnosa dini yang terlambat.
8. Daftar Pustaka
1. Stanford T, Shulman. The Biologic and Clinical Basis of Infectious diseases, fourth edition. 1992. W.B Saunders Company. Hal 521-538
2. Bentler B. The Explosion of Septic Shock. Curr Opinion Infection Disease 1991; 13: 623-627.
3. Maclean LD. The patient in shock Manual of preoperative and postoperativ care 2nd ed. Edited by Kinney JM. WB Saunders Co. Philadelphia, 1971.
4. Wahjono Hendro. Sepsis. Materi Topik khusus UNX 795, Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 1998
[+/-] |
NON-HODGKIN’S LYMPHOMA |
by: Evy Indriani Vyati
1.1 PENDAHULUAN
Non-Hodgkin’s Lymphoma (NHL) adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Sel ganas pada NHL adalah sel limfosit yang berada pada salah satu tingkat diferensiasinya dan berproliferasi secara banyak. Dapat terjadi pada limfosit T maupun limfosit B. Terdapat lebih dari 15 tipe yang berbeda dari NHL , dikelompokkan ke dalam 3 sub tipe :
1. Lymphonlastic lymphoma (LBL)
2. Small non cleved cell (Burkit’s dan non Burkit’s)
3. Large cell lymphoma (histiositik).
Semuanya merupakan jenis neoplasma yang cepat tumbuh dengan penyebaran sistemik yang luas.
Meskipun etiologinya belum diketahui tetapi beberapa faktor yang menyebabkan termasuk : infeksi virus dan immunodefisiensi. Bentuk endemis dari Burkit’s lymphoma ditemukan di Afrika dan New Guinea. Epstein Barr Virus DNA dan antigen nuklear diidentifikasi pada 90 % African Burkit’s lymphoma. Keadaan infeksi virus lain dengan penyakit immunodefisiensi juga oleh : HIV , Wiskott- Aldrich Syndrome, Bloom syndrome, ataxia telangiectasis, , severe combined immunodefisiensi disease, X-linked immunoproliferative syndrome, dan pada keadaan transplantasi dengan immunosuppresive khronis. EBV induced NHL terjadi sebagai akibat gangguan imunitas. Kebanyakan kasus endemis dan sporadis terdapat translokasi dari lengan panjang khromosom 8 yang mengandung c-myc protoonkogen ke lengan panjang 14 (8q-;14+). Hal ini mengakibatkan expresi yang abnormal dari produk gen mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terbatas , mencetuskan tranformasi neoplastik.
2.2 GEJALA KLINIS
NHL pada anak melibatkan generelized lymphoid dan extranodal. Pertumbuhan dan penyebarannya sangat cepat. Semua KGB termasuk Peyer’s patch, mediastinum, thymus, Waldeyer’s ring , organ pelvis , hati dan lien mungkin terkena. Extralymphoid termasuk kulit, testis, tulang, sum-sum tulang, dan susunan saraf pusat dapat terkena. Pola penyebarannya sesuai dengan jenis sub tipe histologisnya.
LBL biasanya supra diafragma 50 – 75 % anterior mediastinal mass. Dapat disertai dengan efusi pleura dan gangguan respirasi karena penekanan trachea (wheezing, dyspnea, batuk, tachypnea dan respiratory distress ), kadang-kadang dysphagia karena penekanan esofagus.Obstruksi vena cava superior khas ditandai dengan distensi vena leher dan extremitas atas dan edema muka dan penampilan plethoric dari leher dan muka. Dapat terjadi mental confusion karena hipoxemia.
Small noncleved cell lymphoma ( Burkit’s atau non Burkit’s ) adalah B- cell tumor yang biasanya timbu di abdomen . Tumor tumbuh cepat dengan doubling time sampai 24 jam pada beberapa kasus. Bentuk yang endemis pertama timbul di orbita atau rahang ( 72 % ) dan yang sporadis selalu mulai dari abdominal. Bentuk endemis timbul di lingkungan tropis dan puncaknya usia 4 – 9 tahun. Bentuk sporadis penyebaran geografisnya lebih luas begitu juga distribusi usianya. Anak laki-laki : perempuan = 3 : !. Pada usia belasan kedua jenis kelamin hampir sama.
Pada abdominal lymphoma lebih dari 60 % kasus mengenai usus halus, khusunya ileum, juga terdapat pada kolon, appendix, divertikulum Meckel, ovarium ginjal, hati , KGB mesenterium dan rongga retroperitoneal. Gambaran klinis bervariasi ; nyeri abdomen, anorexia, nyeri perut kanan bawah, , abdominal mass, acute cramping pain, , bilous vomiting, obstruksi intestinal karena intususepsi dengan lymphoma sebagai leading point.
Large cell lymphoma ( histiositik ) sering terjadi pada extra nodal dan menyebar luas. Primer dapat di : kulit, testis, mata, tonsil , jaringan lunak, dan kadang-kadang di mediastinum tapi hampir tidak pernah di abdomen.
Kebanyakan tumor-tumor ini adalah berasal dari sel B, meskipun kadang-kadang sel T. Large cell tumor terjadi lebih sering pada usia lebih tua , yaitu :10 – 15 tahun.
2.3 DIAGNOSIS
Kenyataannya bahwa NHL adalah penyakit yang heterogen yang ditangani secara berbeda maka sangat mutlak dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologis, immunophenotyping, dan pemeriksaan sitogenetik untuk menegakkannya.
Bila pasien terdapat efusi pleura atau ascites , pemeriksaan sitologi dan immunophenotyping dapat dilakukan. Pemeriksaan pretreatment yang lain : hitung jenis , tes fungsi hati dan ginjal, serum asam urat, Ca, Phospor, LDH, dan elektrolit. Juga diperlukan pemeriksaan X-ray Thorax dan CT-scan abdominal atau thorak, sidik tulang, dan galium scan, pemeriksaan LCS (liquor cerebrospinalis) untuk evaluasi. Dalam hal ini tidak seperti Hodgkin’s disease tidak doperlukan staging laparotomy.
2.4 STAGING
Meskipun Sistem Ann Arbor staging digunakan pada NHL, tetapi memberikan perbedaan prognosa buruk yang berbeda. Yang paling sering sistem staging yang digunakan adalah dari Murphy staging criteria. Sistem ini membagi pasien dalam penyakit lokal ( stage I dan II ) yang mempunyai prognosa yang baik dibandingkan dengan tumor yang primernya dari tempat mediastinum, thymus, epidural, paraspinal, atau primer CNS ) atau pasien dengan penyakit lanjut (stage III atau IV). Sistem staging untuk endemic Burkit’s lymphoma menggunakan lokasi tumor dan tumor yang tersembunyi ( 5 stages ) .
2.5 TERAPI
Terapi NHL tergantung histologi, stage, dan immunophenotype.Untuk anak dengan stage I dan II NHL diberikan multi agen khemoterapi ( doxorubicin, vincristine, cyclophospamide, dan prednison) diikuti 6 bulan daily oral 6 MP dan metotrexate setiap minggu dengan long term free survival 90 %. Tidak ada perbedaan bermakna dengan lokal irradiasi.
Hanya pada pasien dengan tumor kepala dan leher diberikan terapi intrathecal sebagai profilaksis. Untuk anak dengan LBLs lanjut (stage III ) diberikan 10 –drug program ( LSA2L2 ) dengan hasil 76 % relapse free survival. Regimen ini tidak efektif untuk tumor sel B lymphoma. ( 28 % relapse free survival ) . Penggunaan COMP ( cyclophospamide, vincristine, netotrexate dan prednisone ), dimana tidak efektif untuk LBL , memperbaiki relapse free survival pada lymphoma cell B sampai 57 %.
Terapi untuk stadium IV dengan dosis tinggi arabinoide-C ( ara-C ) dan dosis intetrmediate metotrexate memperbaiki survival sampai 50 %. Anak-anak dengan penyakit yang lanjut memerlukan profilaksis CNS denagn intrathecal metotrexate atau radiasi cranial atau keduanya dan memerlukan terapi dengan durasi yang lebih lama. VP-16 (epipodophyllotoxin ) dan ara-C bermanfaat untuk menangani NHL yang relapse. Radioterapi secara umum jarang digunakan kecuali untuk beberapa pasien dengan penyakit lokal yang residual setelah terapi induksi.. Pasien dengan refractory atau relapse NHL juga diterapip dengan khemoterapi dosis tinggi yang diikuti dengan autologus atau allogenic bone marrow transplantation (BMT)
2.6 TUMOR LYSIS SYNDROME
Komplikasi besar dalam menangani NHL adalah tumor lysis syndrome. Hal ini dapat diantisipasi pada penderita dengan penyakit yang luas atau tumor yang besar. Berhubungan dengan hyperuricemia sebagai akibat kecepatan destruksi sel tumor pada waktu terapi initial. Dibarengi pada beberapa kasus dengan gangguan fungsi renal akibat infiltrasi lymphoma pada kedua ginjal. Pemberian allopurinol dan hiperhidrasi dengan 3 – 4 L / m2 cairan i.v akan mencegah efek samping ini.
Alkalisasi urine menolong memperbaiki kelarutan asam urat. Bila hiperphospatemia terjadi, alkalinisasi harus dihentikan karena kalsium phospat akan terbentuk pada lingkungan yang alkalis. Diuretik diberikan dengan hati-hati karena dapat menurunkan pH dan mempertahankan hiperuricemia. Renal dyalisis mungkin penting untul live-saving jika komplikasi metabolik seperti hyperkalemia, acidosis dan hiperphosphatemia tidak dapat terkontrol.
KEPUSTAKAAN
1. Regezi Joseph A and Sciuba James J, Oral Pathology second edition W.B Saunders Company, 1993, hal 450-451.
2. Rowe I Marc,MD, O’Neill A James MD, Grosfeld L Jay MD, Fonkalsrud W Eric MD, Coran G Arnold MD : Lymphoma . In Essentials of Pediatric Surgery , ed 1st St. Louis,1995, Mosby,286-295.
3. Reksodiputro Haryanto: Limfoma Malignum Non-Hodgkin in Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1996. Hal 535-547.
4. Sabiston : Text Book of Surgery, 14th ed, Philadelpia, 1991, W.B. Saunders co., 1119- 1921.
5. Schwartz : Principles of Surgery , 6th ed, New York,1994, Mc Graw Hill,inc,307-308.
6. Thar Timothy L: Lymphomas and related diseases presenting in the head and neck In Management of Head and Neck Cancer A Multidisciplinary Approach, Philadelphia, London, Mexico city, New YorkJ.B. Lippincott Company 1984, hal 635-645